Sri Mulyani Permalukan Mahfud MD

Mahfud MD dan Sri Mulyani sama-sama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan data diantara mereka karena sumber data yang disampaikan sama, yaitu data agregat LHA PPATK tahun 2009-2023. Namun dalam rapat bersama Komisi III tanggal 11 April 2023 yang disiarkan banyak media secara live, penulis melihat Menteri Keuangan, Sri Mulyani dengan lihai berhasil mempermalukan Mahfud MD dibalik klaim tidak ada perbedaan data. Analisis di bawah ini menunjukkan adanya perbedaan tersebut.

Gambar hasil screenshot dari TV Parlemen di atas menunjukkan seolah-olah tidak ada perberbedaan data. Namun, mari kita bedah perbedaannya.

Pertama, terdapat perbedaan istilah “LHA” yang digunakan Mahfud MD dan “surat” yang digunakan oleh SMI. LHA (Laporan Hasil Analisis) merupakan hasil analisis atas transaksi keuangan mencurigakan (TKM) dan/atau laporan lainnya. Ratusan TKM bisa saja hanya menghasilkan 1 LHA. LHA berisi indikasi pencucian uang dan/atau pidana asal (korupsi, narkotika) yang sudah setengah matang. LHA akan ditindaklanjuti oleh APH (Aparat Penegak Hukum) seperti Polisi, Jaksa, KPK, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil seperti Penyidik Pajak dan Penyidik Bea Cukai). LHA dapat juga diikuti dengan pemeriksaan lapangan dan tindakan lain yang diperlukan sehingga menghasilkan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan).

Berbeda dengan Mahfud MD, Sri Mulyani menggunakan istilah surat yang berasal dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Istilah surat yang dipakai Sri Mulyani bisa saja berisi informasi yang diminta Kemenkeu, transaksi keuangan mencurigakan, LHA atau LHP. Jadi Sri Mulyani menggunakan istilah yang lebih besar dibandingkan Mahfud MD yang lebih spesifik. Skor 1-0 untuk Sri Mulyani.

Kedua, Mahfud MD mempresentasikan LHA berisi TKM. Idealnya LHA bukan lagi berisi TKM, namun informasi yang lebih matang tentang indikasi adanya pencucian uang dan/atau tindak pidana asal. LHA merupakan kumpulan TKM yang sudah dianalisis lebih lanjut menggunakan proses pre-cleansing, eksplorasi database PPATK, penggunaan analytical tools, dst. Sedangkan TKM merupakan transaksi keuangan menyimpang dari profil/kebiasaan atau diduga terkait dengan hasil tindak pidana. Jadi ada perbedaan kualitas/kematangan informasi antara LHA dengan TKM. Namun dalam presentasinya, Mahfud MD seolah-olah mencampuradukkan LHA dengan TKM.

Sedangkan Sri Mulyani menyebutkan bahwa surat dari PPATK tersebut berisi akumulasi transaksi debit kredit dan/atau transaksi lainnya selama kurun 15 tahun. Akumulasi transaksi debit kredit tersebut bisa saja merupakan transaksi keluar masuk di rekening selama 15 tahun. Misalnya, pegawai pajak menerima gratifikasi Rp5 miliar, kemudian diinvestasikan dalam saham sebesar Rp5 miliar, kemudian diinvestasikan lagi untuk membeli properti sebesar Rp5 miliar. Meskipun uangnya hanya Rp5 miliar, namun PPATK mencatat transaksi mencurigakan tersebut sebesar Rp15 miliar.

Surat yang dimaksud Sri Mulyani diatas dapat berasal dari inisiatif PPATK (misalnya karena ada indikasi TKM) atau dapat juga berasal dari inisiatif Kemenkeu untuk keperluan antara lain fit & proper test (promosi pegawai Kemenkeu) atau untuk keperluan investigasi. Jadi tidak semua surat berisi LHA atau LHP, namun termasuk di dalam berisi informasi. Informasi adalah keterangan atau data yang meliputi profil atau keadaan diri orang perseorangan atau Korporasi, data keuangan, harta kekayaan, dan/atau keterangan lain yang dimiliki oleh PPATK. Jadi terdapat perbedaan kualitas informasi yang disajikan Mahfud MD dan Sri Mulyani. Skor 2-0 untuk Sri Mulyani.

Ketiga, secara agregat datanya sama, namun jika dilihat secara detil, terdapat beberapa perbedaan di sana-sini. Sri Mulyani berhasil menjelaskan lebih detil dan komprehensif dibandingkan data global yang disampaikan Mahfud MD. Penjelasan detil Sri Mulyani tersebut semakin menunjukkan perbedaan kualitas informasi yang disampaikan sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Skor 3-0 untuk Sri Mulyani.

Jadi perbedaannya adalah Mahfud MD dalam presentasinya di atas bahwa angka agregat Rp349 triliun semuanya berindikasi pencucian uang. Sedangkan Sri Mulyani bahwa angka Rp349 triliun itu terdiri dari LHA atau LHP dengan indikasi pencucian uang, informasi tentang transaksi keuangan mencurigakan karena tidak sesuai dengan profil/kebiasaan atau diduga hasil tindak pidana, dan informasi yang diminta Kemenkeu untuk keperluan fit & proper test atau untuk keperluan Itjen Kemenkeu. Sri Mulyani secara tidak langsung mengoreksi kesimpulan prematur Mahfud MD. Presentasi Sri Mulyani boleh dibilang menang telak 3-0 dibandingkan presentasi Mahfud MD.  

Terlepas dari perbedaan penyajian oleh Sri Mulyani dan Mahfud MD, kita patut mengapresiasi apa yang sudah dilakukan kedua tokoh ini dalam menyikapi indikasi TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Peran Mahfud MD sangat besar dalam mengungkap berbagai peristiwa besar di Indonesia. Jika tidak di-viral-kan, tindak-lanjut berbagai kasus pidana di Indonesia biasanya banyak yang diselesaikan secara senyap alias tidak jelas. Kinerja Sri Mulyani yang mampu mereformasi Kemenkeu tidak perlu diragukan lagi. Demikian juga dengan responnya dalam menghadapi “badai” di Dirjen Pajak patut diapresiasi.

Pada sesi kedua ini, penulis ingin menyoroti peran PPATK yang kurang maksimal, bahkan boleh dibilang sebagai biang keladi “perseteruan” Mahfud MD vs Sri Mulyani. Mengapa PPATK penulis sebut sebagai biang keladi atau akar masalah kehebohan selama sebulan terakhir ini?

  1. Pertama, dalam rapat dengan Komisi III tanggal 11 April 2023, PPATK diibaratkan sebagai gelandang yang bertugas memberi umpan matang kepada striker (APH). Umpan matang PPATK seharusnya hanya dalam bentuk LHA dan LHP, tidak termasuk informasi atau rekomendasi.
  2. PPATK sebagai pihak yang sangat memahami angka Rp349 triliun seharusnya dapat menjelaskan secara komprehensif uraian angka Rp349 triliun. Benar bahwa PPATK dalam beberapa kesempatan telah menjelaskan bahwa angka Rp349 triliun tersebut merupakan angka kumulatif transaksi debit-kredit selama 15 tahun. Namun tidak semua pihak memahaminya dengan baik. Buktinya banyak pihak, termasuk anggota Komisi III, menganggap Rp349 triliun merupakan jumlah yang dikorupsi. Kesalahan penafsiran inilah yang menimbulkan kehebohan.

Pada tahun 2022, PPATK menyampaikan 7.381 LHA dan 235 LHP kepada APH dan kementerian atau lembaga lain dengan dugaan TPPU yang berasal dari tindak pidana asal. Namun persentase (tindak lanjut laporan) masih di bawah 30 persen. Pertanyaannya, apakah kualitas umpan PPATK yang kurang matang atau APH sebagai striker yang jelek sehingga tidak bisa mencetak gol dari umpan matang  PPATK?

Penjelasan dari APH dan PPATK patut dinantikan untuk membuat terang-benderang permasalahan di atas. Namun dalam pembahasan kali ini, penulis akan mengambil contoh di Kemenkeu. PPATK telah mengirim 200 surat ke Kemenkeu dalam kurun waktu 15 tahun (2009-2023) atau jika dirata-rata 13 surat per tahun dengan total nilai transaksi Rp275,6 triliun. Dari 200 surat tersebut, 186 telah selesai ditindaklanjuti dan mengakibatkan hukum disiplin 193 pegawai dan 9 surat ditindaklanjuti ke APH. Tidak ada penjelasan berapa besar uang negara yang bisa diselamatkan (asset recovery-nya tidak jelas). Yunus Husein dalam ILC beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa Indonesia sedang dikritik FATF karena asset recovery-nya rendah sekali. Kalau angka yang dikirimke Kemenkeu sebesarRp275,6 triliun, seharusnya asset recovery-nya besar sekali. Namun ternyata tindak-lanjut dari Kemenkeu hanya bersifat administratif (hukuman disiplin bagi 193 pegawai). Umpan PPATK yang kurang matang atau Kemenkeu yang tidak bisa mencetak gol dari umpan matang PPATK tersebut?

Fakta yang diuraikan Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi III pada tanggal 11 April 2023, bahwa 200 surat PPATK ke Menkeu berisi:

  1. 135 surat terkait korporasi dan Pegawai senilai Rp22 triliun terdiri dari:
  2. Korporasi senilai Rp18,7 triliun merupakan permintaan Itjen Kemenkeu dan insiatif PPATK yang berisi transaksi debit kredit operasional korporasi dan orang pribadi yang tidak ada kaitannya dengan pegawai kemenkeu;
  3. Pegawai senilai Rp3,3 triliun merupakan akumulasi transaksi debit kredit pegawai termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, dan jual-beli harta untuk kurun waktu 15 tahun (2009-2023) yang telah ditindaklanjuti. Dalam jumlah tersebut, terdapat surat berkaitan dengan clearance pegawai yang digunakan dalam rangka mutasi promosi (fit & proper test).
  4. 65 surat terkait Perusahaan/Korporasi senilai Rp253 triliun. Hasil pengembangan Itjen (Audit Investigasi) dengan data-data lainnya (diluar informasi PPATK) ditemukan pelanggaran disiplin 24 pegawai. Dari 65 surat, terdapat 1 surat berisi transaksi debit kredit perusahaan/ korporasi dengan transaksi sebesar Rp189 triliun terkait dengan tugas fungsi DJP dan DJBC. Kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap dengan putusan pelaku perseorangan lepas dari segala tuntutan hukum di tingkat PK dan pelaku korporasi dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana denda sebesar Rp500 juta (kasasi). Setelah proses peradilan ini, Kemenkeu (Dirjen BC) bersama PPATK melakukan case building.

Berdasar informasi di atas, penulis menyimpulkan bahwa umpan yang diberikan PPATK tidak terlalu matang sehingga sulit ditindaklanjuti oleh striker (Penyisik Dirjen Pajak/BC atau Itjen Kemenkeu). Berkaca dari Kemenkeu, kemungkinan APH seperti Polisi, Jaksa,atau KPK juga kesulitan menindaklanjuti “umpan” PPATK. Kualitas LHA dan LHP yang disampaikan PPATK sering kurang matang sehingga APH masih perlu bekerja keras untuk melakukan pulbaket, penyelidikan, penyidikan. Contoh, PPATK menginformasikan adanya penerimaan uang mencurigakan kepada pejabat pemerintah yang sekaligus merupakan politisi. Informasi seperti ini tentu saja menyulitkan APH untuk mencari hubungan kausalitas antara penerimaan uang yang mencruigakan tersebut dengan peristiwa pidananya (underlying transaction). Tidak mudah APH untuk melakukan case building (pulbaket, penyelidikan, penyidikan) atas informasi PPATK seperti contoh di atas.     Mengapa umpan dari PPATK kurang matang? Yang dapat menjawab adalah PPATK sendiri. Namun penulis menyoroti keterbatasan kewenangan PPATK, belum sempurnanya peraturan perundang-undangan yang mendukung kinerja PPATK, keterbatasan sumberdaya, dan lain-lain. Pembahasan mengenai hal ini cukup menarik untuk dibahas dalam tulisan tersendiri. (©RBS).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *